Budaya Bali dan Kesenian Ritualnya Merupakan Keseimbangan Manusia
Submitted by Ketut Oka on Sat, 12/24/2011 - 11:33
Propinsi Bali adalah suatu daerah yang memiliki luas 5.632,86 km2 yang terbagi atas delapan kabupaten.Masing-masing kabupaten terbagi dalam kecamatan-kecamatan yang seluruhnya berjumlah 50 buah di dalamnya tercakup 546 buah desa dinas, sedangkan desa adatnya berjumlah 1456 buah yang terdiri dari 3627 banjar adat. Sedangkan secara geografis desa-desa di Bali dapat diklasifikasikan atas (1).desa pegunungan yang terdiri desa dataran dan desa pantai,(2)desa perkotaan yang terdiri dari desa pinggiran kota dan desa pedalaman,(3) desa nelayan yang terdiri dari desa pertanian dan desa kerajinan. Pulau yang luasnya hanya 0,29 persen dari keseluruhan wilayah daratan Indonesia, maskipun penduduknya hanya sekitar 3,4 juta jiwa Bali memiliki kekuatan yang tidak tersaingi oleh daerah-daerah di kawasan Indonesia timur lainnya (Kompas,9 Juli 2004).
Potensi dan kekuatan yang dimiliki oleh setiap kabupaten mendapat perioritas utama untuk dijadikan objek andalan untuk mendapatkan sumber devisa daerahnya.Seperti daerah-derah Kabupaten Badung yang terkenal dengan objek pariwisata pantai Kutanya dengan hiruk pikuk kehidupan malamnya dengan banyaknya berdiri hotel dari kelas yang berbintang maupun kelau melati Kota wilayah Denpasar juga memiliki objek andalan yang terkenal dengan pantai matahari terbitnya yaitu Sanur.
Sanur merupakan suatu daerah yang pada awalnya sangat subur dengan pertaniannya sehingga dengan kedatangan preseiden pertama Indonesia ke daerah ini, maka segeralah mulai di bangun hotel yang tertinggi di Bali pada saat itu. Dulu nama hotel tersebut adalah Bali Beach dan sekarang sudah berubah menjadi Grand Bali Beach. Disamping itu sekarang sudah mulai banyak berdiri hotel yang berkelas maupun tidak .
Gianyar dengan objek andalannya sebagai pusat kerajinan dan keseniannya. Daerah Gianyar ini telah menjadi tempat yang menyenangkan bagi wisatawan asing yang menyukai “ART” Karena daerah ini di samping barang kesenian dan kerajinannya juga banyak seniman-seniman hebat baik tari, lukis, patung, karawitan dan crafnya. Sedangkan daerah kabupaten yang lainnya juga memiliki objek andalan namun untuk kunjungan wisatawan asing baik luar maupun domistik sebagai sumber devisa daerah masih dibawah tiga derah yang disebutkan di atas. Sebagai daerah kunjungan wisata Bali telah menempatkan posisinya sebgai pintu gerbang utama untuk pergaulan dunia, hal ini bisa terlihat pada tahun 1920-an Bali sudah melakukan interaksi kebudayaan secara intensif dengan kebudayaan Barat. Kontak dengan kebudayaan Barat telah memberikan semacam sentuhan impulsif untuk lebih membangkitkan potensi serta menjadi landasan bagi perkembangan kebudayaan Bali di masa-masa selanjutnya. Prodak kebudayaan Bali setelah mengalami interaksi dengan kebudayaan Barat tampak agak beda dengan produk-produk sebelumnya,misalnya dalam seni rupa, arsitektur, tari dan lain-lainnya.
Seniman-seniman Bali mulai menghasilkan bentuk-bentuk baru yang khas, maskipun tidak terlepas dari akar budayanya. Salah satu contoh, sebelumnya kesenian Bali hanya ditujukan untuk kepentingan agama, tetapi sejak tahun 1930-an kesenian Bali sudah mulai disajikan untuk sekuler. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya seniman lukis dan patung yangmana mulai berani mengangkat tema kehidupan sehari-hari ke dalam kerya-karyanya. Disamping itu pada tahun 1920-an Bali telah menjadi tempat kajian dari orang-orang barat, bahkan mereka menetap di pulau ini dengan waktu yang lama. Dan menetap serta berbaur bersama dalam kehidupan kebudayaan penduduk setempat sambil menggali dan mengembangkan potensi kebudayaan setempat dan memberi sentuhan dengan kebudayaan Barat yang mereka bawa. Adapun orang barat yang menjadi pionir interaksi kebudayaan Barat dengan kebudayaan Bali ,salah satunya adalah Welter Spies. Orang inilah yang pertama kali membawa kesenian Bali pada tahun 1930 keliling Eropa.
Interaksi kebudayaan yang terjadi di Bali baik yang dibawa oleh orang Barat dengan kebudayaannya dan kebudayaan pribumi lebih menunjukkan sifat pleksibel dan adaptatif, senantiasa mampu menerima dan mengolah unsure-unsur Barat(asing) didalam rangka memperkaya kebudayaannya sendiri tanpa harus melenyapkan kepribadian sendiri. Salah satu contoh ragam hias tradisional Bali diperkaya oleh Patra Cina, Patra Mesir, Patra Welanda). Bahkan yang paling penting dalam interaksi budaya tersebut dapat membentuk ketahanan budaya yang membangkitkan local genius dari kebudayaan Bali. (Mc Kean,Philip Frick.p.63). Kalau kita berbicara budaya sebenarnya itu merupakan sebuah istilah yang sampai sekarang masih banyak yang memperdebatkan baik dari segi konsep maupun kajiannya. Hal ini disebabkan karena setiap negara didunia memiliki karakteristik masing-masing.
Dalam kesempatan ini saya juga tidak akan ikut memperdebatkan mana konsep kebudayaan yang benar. Untuk itu ada dua teori yang bisa kita pakai sebagai reprensi tentang apa itu kebudayaan dan unsure-unsur apa saja yang ada dalam kebudayaan itu. Kata kebudayaan berasal dari kata sanskerta yaitu “buddhayah”, ini meruypakan bentuk jamak dari kata “buddhi” yang berarti “akal”. Sedangkan menurut Zoetmulder dalam buku Cultuur,Oost en West Amsterdam.1951 dijelaskan bahwa kebudayaan itu adalah suatu perkembangan dari majemuk “budi-daya”, yang artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Sedangkan Edward Burnett Tylor seorang Bapak ilmu antropologi modern mendifinisikan kebudayaan yang berarakar dari kata budaya sebagai berikut : That complex whole which includes knowledge, belief ,art, morals, law, custom, and any oder capabilities and habits acquired by man as a member of society”[1]. (kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan,kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat, dan setiap kemampuan dan kebiasaan lainnya diproleh manusia sebagai anggota masyarakat) Banyak sekali para ahli dari beragam ilmu mencoba membuat sebuah konsep tentang difinisi kebudayaan. Dimana pada tahun 1952 sudah terkumpul 160 konsep tentang difinisi kebudayaan yang diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Culture,A Critical Review of Concepts and Definistions[2].
Dari sekian banyak konsep tentang difinisi kebudayaan penulis lebih cendrung mempergunakan difinisi yang di ungkapkan oleh Koentjaraningrat yaitu kebudayaan adalah sebagai keseluruhan system gagasan,tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dari difinisi tersebut ternyata kebudayaan memiliki unsure–unsur yang sangat universal,hampir semua negara di dunia ini memiliki unsure-unsur tersebut seperti adanya:
1. Sistim relegi dan upacara keagamaan.
2. Sistim organiasi kemasyarakatan.
3. Sistim pengetahuan
4. Bahasa.
5. Kesenian.
6. Sistim mata pencaharian.
7. Sistim teknologi dan peralatan.
Dari ketujuh unsure-unsur kebudayaan ini ada yang sukar kena pengaruh dari kebudayaan lain dan ada yang sangat mudah berobah karena diganti dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Kalau dilihat dari struktur baik dalam maupun luar tampak beberapa ciri yang melekat dalam kebudayaan Bali,dia lebih cendrung menunjukkan diri sebagai kebudayaan yang ekspresif, karena ada ruang yang luas dan sangat memberikan kemungkinan untuk berkembang secara variatif. Hal ini disebabkan karena struktur dalam menjadi esensi perpaduan yang utuh antara tradisi dan agama Hindu yang berintikan nilai relegi estetika, dan solidaritas. Nilai-nilai inilah merupakan suatu gambaran kalau kebudayaan Bali lebih merefleksikan diri sebagai kebudayaan ekpresif. Sedangkan dalam struktur luar kebudayaan Bali tentunya dibentuk dan dijiwai oleh struktur dalam.
Dalam perjalanan kebudayaan Bali senantiasa diwarnai oleh proses adaptasi serta respon dinamis dari masyarakat Bali terhadap perkembangan yang terjadi di lingkungannya. Sehingga struktur luar kebudayaan Bali memperlihatkan keragaman bentuk dan variasi sesuai dengan adegium desa, kala, patra (tempat, waktu, keadaan) Ada beberapa konsep yang membangun dan melandasi struktur perkembangan kebudayaan Bali yang sampai sekarang ini masih tetap menjadi acuan bagi masyarakat Bali. Diantaranya adalah:
1. Dualistik (rwa bhineda) Dalam konsep ini,kehidupan yang dijalani oleh masyarakat Bali sangat menyadari tentang adanya kehidupan baik dan buruk , sacral dan profan hulu dan hilir dan seterunya dua yang berbeda ini akan selalu hidup berdampingan dalam kehidupan manusia di dunia ini.Dalam kitab sarasmuscaya.p.3. disebutkan bahwa manusia lahir sudah membawa hokum rwa bineda dalam dirinya yaitu dengan memiliki tangan kiri dan tangan kanan, sifat baik dan buruk itulah keseimbangan dunia mikrokosmos tubuh manusia,mampu menyatukan kekuatan yang berbada itulah sebenarnya kekuatan yang hakiki.
2. Keselarasan. . Masyarakat Bali yang tinggal di Pulau Bali maupun yang tinggal diluar pulau Bali masih konsisten menjalankan tata aturan dalam pelaksanaan upacara ke agamaan. Sebagai pemeluk agama Hindu ,masyarakat Bali memiliki pandangan bahwa kehidupan ini didasarkan atas azas kebersamaan dan azas berbakti pada Tuhan,Alam ,masyarakatnya. Dengan azas kebersamaan tersebut mendorong manusia untuk berorientasi kepada sesamanya, sedangkan azas berbakti menumbuhkan loyalitas untuk mengabdi .Sesuai dengan keyakinan masyarakat Bali, bahwa rasa rasa bakti itu diwujudkan dalam bentuk yadnya yang ditujukan kepada Tuhan/Hyang Widhi Wasa, kepada sesama manusia serta mahluk lainnya, serta ditujukan kepada alam lingkungannya. Konsep ini merupakan pengejawantahan dari filsafat trihitakarana. Yang artinya kehidupan ini tidak hidup sendiri, melainkan dikelilingi oleh komunitinya yang disebut dengan system makrikosmos dimana manusia merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsure kejil saja yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar (Geria,1980,11-12). Yang menjadi tata kehidupan masyarakat Bali ,baik secara individual maupun kolektif sangat meyakini adanya pancasrada adalah lima keyakinan hidup dalam masyarakat Bali yang terdiri dari:
* Keyakinan terhadapTuhan/ Hyang Widhi Wasa dalam agama Hindu ,Hyang Widhi /Tuhan adalah pencipta, pemelihara dan pelebur untuk kembali kealam semesta,sering disebut dengan trikona yaitu utpati,stiti,dan pralina dan keyakinan ini dalam satu kesatuan dinyatakan dengan tempat pemujaan yang disebut dengan Kahyangan Tiga yaitu pura Desa, pura Puseh, dan pura Dalem. (pura adalah nama suatu tempat pemujaan ).
* Keyakinan terhadap atman. Manusia yang diciptakan oleh Tuhan akan hidup dan berkembang dan sujud kembali kepada-Nya, artinya manusia adalah mahluk social yang reliqius, tidak akan bisa hidup menyendiri, melainkan saling memerlukan bantuan sesamanya tat twam asi (dia adalah engkau) ini yang menjadi landasan tata kehidupan didalam menuju harmonisasi yang dilakukan oleh masyarakat Bali ,untuk menyikapi pergaulan antar umat manusia, baik secara individu maupun secara berkelompok
* Keyakinan terhadap hukum karma. Kita semua tahu bahwa hukum ini adalah hukum perbutan yang dilakukan oleh manusia, jelek buruknya perbuatan manusia maka hasilpun akan seperti itu(pahala). Menurut tata susila kepercayaan masyarakat Bali,untuk menciptakan ketertiban dan kerukunan hidup bermasyarakat, sangat perlu adanya norma-norma seperti:norma keseusilaan, norma kesopanan, norma hukum dan norma agama. Keseluruhan norma-norma ini mendorong seseorang untuk berbuat baik dan menghindari dari perbuatan yang tidak baik, kerana menurut hukum karma, pahala dari perbuatan itu akan mempengaruhi kehidupan manusia baik di masa hidupnya sekarang, maupun pada kehidupannya yang akan datang.
* Keyakinan terhadap penitisan kembali. Di dalam kitab sarasmuscaya p.9.disebutkan agar manusia berbuat baik untuk menebus perbuatan yang tidak baik. Ini berarti manusia harus mampu menolong dirinya sendiri dari neraka [3]. Untuk dapat berbuat sesuatu, manusia memerlukan tempat atau ruang yaitu alam sebagai tempat aktifitas kehidupan, alam juga sebagai tempat akhir kehidupan jasmani kita akan kembali ke alam .Pertalian yang erat ini menimbulkan rasa cinta tanah air dan rasa cinta terhadap tanah kelahirannya.Sehingga orang Bali pada umumnya berorientasi serta mempunyai ikatan batin kepada desa kelahirannya.(Kompas edisi kamis,15 Juli04).
* Keyakinan terhadap Moksa. Dengan adanya pandangan keyakinan terhadap penitisan kembali ini, maka dapatlah diciptakan kehidupan yang nyaman, aman, tentram, tertib dan rukun antar sesama baik manusia dengan Tuhannya , manusia dengan manusia, manusia dengan alamnya akan dapat memberikan motivasi munculnya ketenangan batin .Dengan ketenangan batin inilah jalan utama ke arah ketenangan jiwa untuk menuju moksa.(Moksa adalah melepaskan diri dengan ikatan duniawian)
3. Solidaritas. Masyarakat Bali yang tinggal di Pulau Bali maupun diluar Bali sangat menyadari tentang arti penting penekanan kebersamaan bukan dalam tatanan konsep teoritis ,tetapi dalam aplikasi yang sinergis baik antar individu maupun kelompok dengan dibentuk Banjar yang sekup lebih luas dan tempek sekupnya lebih kecil. Ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa Banjar dapat berarti pengawas (Goris ,1954,p.61), baris atau lingkungan (Wojowasito,1973,p.200).Banjar dalam pengertian desa adat di Bali adalah sekelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa adat dan menjadi bagian dari desa adat serta merupakan persekutuan hidup social, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah. Sedangkan tempat untuk melakukan aktifitas bersama ini disebut Bale-Banjar[4] . Tempek persekutuan hidup social yang sekupnya lebih kecil dari Banjar,namun ia masih dibawah koordinasi Banjar. Kesadaran untuk saling memahami satu sama lain dalam satu Banjar maupun dalam satu tempek sangat menekankan rasa kebersamaan .
4. Desa Kala Patra. Dalam konsep ini lebih menunjukkan penerimaan terhadap kenyataan hidup bahwa dalam keseragaman ada keragaman, dalam kesatuan pasti ada perbedaan.Begitu juga dalam kebudayaan Bali ada kesamaan bahasa dan agama, namun bentuk dan isi kebudayaannya sangat kaya dengan variasi. Maksudnya bahwa kebudayaan Bali sangat cepat mengadaptasi sesuai dengan lingkungan ia tidak stagnasi namun berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat pendukung kebudayaannya.
Kita sudah sering mendengar baik dari obrolan teman atau sahabat bahkan sampai membaca media apakah itu lewat televisi, Koran bahkan internet tentang keragaman dan kekayaan seni budaya Bali yang sampai sekarang masih tetap hidup keberadaannya. Agama dan seni begitu menyatu dari kehidupan masyarakatnya,tidak ada perayaan upacara keagamaan tanpa menghadirkan keseniannya. Seni yang selalu bertautan dengan agama ini disebut dengan seni wali, sedangkan yang hanya sebagai pelengkap upacara adalah seni bebali, yang lebih khusus untuk menghibur masyarakatnya disebut seni bali-balihan.Aktifitas kesenian oleh masyarakatnya dianggap penting. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Ruth Benedict(1934), bahwa kegiatan-kegiatan bersifat ritual merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kegiatan-kegiatan ritual ini merupakan warisan yang sudah lama berada dan berkembang dalam masyarakat Bali sekarang.
Keneth Macgowan dan William Melnitz p.2(1962) mengatakan , manusia purba percaya bahwa menirukan perbuatan manusia, binatang, ataupun gerak-gerak alam mempunyai kekuatan magi. Kekuatan magi yang semacam ini lazim disebut magi simpatetis (sympathetic magic). Pada jaman masyarakat primitif apabila akan berburu, untuk mendapatkan kekuatan magic agar berhasil buruannya, ia melakukan gerak-gerak menirukan orang sedang berburu, yakni dengan menggerak-gerakkan tombaknya secara ritmis dan kadang-kadang sering pula diiringi oleh tetabuhan gendang. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa masyarakat Bali masih memwarisi seni ritual yang dilakukan oleh masyarakat jaman pra Hindu. Dapat saya berikan contoh , yaitu di daerah Bali Aga (Bali Asli) yang masih melestarikan kebudayaan pra Hindu ini sebagaian besar pertunjukan kesniannya berfungsi ritual. Bagitu juga yang terdapat di desa Trunyan yang terletak dipinggir Danau Batur misalnya terdapat pertunjukan drama tari topeng yang disebut topeng Brutuk (I Made Bandem. P.3 (1981), Bryl de Zoeta dan Walter Spies.p.12.(1938).
Profesor Danandjaya .p.402-407.(1980),menjelaskan bahwa drama topeng Brotuk itu menggambarkan perkawinan (hubungan sek) antara Ratu Sakti Pancering Jagat dengan permaisurinya Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar.Hal ini merupakan drama ritual untuk kesuburan. Begitu juga dalam pertunjukan barong ngelawang ada yang berfungsi ritual mengusir roh jahat atau penolak bala dalam masyarakat dan ada yang berfungsi sebagai kesuburan pertanian. Begitu juga denganpertunukan ritual topeng Sidha Karya dan wayang Kulit.. Dalam era global ini masyarakat Bali khususnya pekerja seni dalam menyikapi arus pariwisata , maka terciptalah pertunjukan-pertunjukan ritual, pada hal ini semua adalah copy dari ritual yang sesungguhnya. Yang tidak memiliki keterkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan ritual masyarakat. Paktor komersial dan kebutuhan ekonomi menyebabkan copyan seni ritual ini tercipta.
oleh Ida Bagus K. Sudiasa
---------------------------------------------
Daftar Pustaka
A.L.Kroeber and Clyde Kluckhom.Culture.Ter.Pandam Guritno.Dalam Wayang Kebudayaan Indonesia Pancasila .Universitas Indonesia.1988.
Benedict,Ruth .Patterns Of Culture .New York:The New York America Library.1934.
Bandem,I Made and Fredirik Eugene de Boer.Kaja and Kelod:Balinese Dance In Trantition.Kuala Lumpur:Oxford University Press.1981.
Danandjaya,James.Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali.Jakarta:Pustaka Jaya.1980.
Gerya Wayan.Sistim Gotong Royong ,Analisa dari Segi tata Nilai,Dinamika dan Artinya Bagi Pembangunan Pura.Universitas Udayana Bali.1980.
Morton H.Fried(ed).Reading In Antropology.New York: Thomas Y.Copwell Company.1965.
Soedarsona. Beberapa Catatan tentang Tari Pertunjukan Indonesia.Yogyakarta:Konservatiri Tari Indonesia Yogyakarta.1974.
Soedarsono.Membina Pengembangan Mutu Seni Dalam Meningkatkan Dunia Kepariwisataan:Laporan Seminar Pembinaan Kebudayaan dan Pengembangan Kepariwisataan Jakarta.Proyek Sasana Budaya Jakarta.Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan .1978.